Hamil di Usia 20, 30, atau 40-an



Sadari Konsekuensinya

Ingin punya anak adalah hak setiap orang, namun perlu dipikirkan risikonya jika menjalani kehamilan pertama di usia “lanjut”.

Wanita masa kini merdeka memilih jalan hidup dan kehidupannya. Apa yang jadi prioritas hidupnya, itulah yang diutamakan. Tentu saja situasi ini berpengaruh pada rencana kehidupan berumah tangga serta keputusan menjalani kehamilan dan punya anak.

Berbagai alasan melatarbelakangi keputusan menjalani kehamilan dan punya anak. Yang pasti, saat ini tidak sedikit wanita meyakini, bahwa menjalani kehamilan dan punya anak harus siap fisik dan mental. Masalahnya, tak jarang wanita malah seperti keterusan menunda kehamilannya dan, tak terasa, usia terus bertambah.

Padahal menurut para ahli, usia dan fisik wanita berpengaruh terhadap proses kehamilan pertama, pada kesehatan janin dan proses persalinan. World Health Organisation (WHO) memberikan rekomendasi sebagaimana disampaikan dr. J.M. Seno Adjie, SpOG., ahli kebidanan dan kandungan dari RSUPN Cipto Mangunkusumo, “Sampai sekarang, rekomendasi WHO untuk usia yang dianggap paling aman menjalani kehamilan dan persalinan adalah 20 hingga 30 tahun. Tapi mengingat kemajuan teknologi saat ini, sampai usia 35 tahun masih bolehlah untuk hamil.”

Beda usia, beda kondisi fisik

Apa pengaruh usia dan fisik wanita pada kehamilan pertama dan proses persalinan? “Kehamilan di usia kurang dari 20 tahun bisa menimbulkan masalah, karena kondisi fisik belum 100% siap. Kehamilan dan persalinan di usia tersebut, meningkatkan angka kematian ibu dan janin 4-6 kali lipat dibanding wanita yang hamil dan bersalin di usia 20-30 tahun,” jelas dr. Seno.

Beberapa risiko yang bisa terjadi pada kehamilan di usia kurang dari 20 tahun adalah kecenderungan naiknya tekanan darah dan pertumbuhan janin terhambat. “Bisa jadi secara mental pun si wanita belum siap. Ini menyebabkan kesadaran untuk memeriksakan diri dan kandungannya rendah. Di luar urusan kehamilan dan persalinan, risiko kanker leher rahim pun meningkat akibat hubungan seks dan melahirkan sebelum usia 20 tahun ini,” tambah dr. Seno.

Berbeda dengan wanita usia 20–30 tahun yang dianggap ideal untuk menjalani kehamilan dan persalinan. “Di rentang usia ini kondisi fisik wanita dalam keadaan prima. Rahim sudah mampu memberi perlindungan atau kondisi yang maksimal untuk kehamilan. Umumnya secara mental pun siap, yang berdampak pada perilaku merawat dan menjaga kehamilannya secara hati-hati,” jelas dr. Seno

Sedangkan usia 30-35 tahun sebenarnya merupakan masa transisi “Kehamilan pada usia ini masih bisa diterima asal kondisi tubuh dan kesehatan wanita yang bersangkutan, termasuk gizinya, dalam keadaan baik,” ujar dr. Seno

Setelah usia 35 tahun, sebagian wanita digolongkan pada kehamilan berisiko tinggi. “Di kurun usia ini, angka kematian ibu melahirkan dan bayi meningkat. Itu sebabnya, sebenarnya, tidak dianjurkan menjalani kehamilan di atas usia 40 tahun,” ungkap dr. Seno yang juga staf pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini.

Siap fisik, siap mental?

Bagaimana dengan proses kematangan secara psikologis? Dra. Agustine Sukarlan Basri, M.Si., staf pengajar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia menjelaskan, bahwa perkembangan masa dewasa bisa dibagi menjadi dewasa muda (usia 21-39 tahun), dewasa madya (usia 40-50 tahun), dan dewasa akhir (lanjut usia/lansia). Masing-masing fase memiliki ciri.

“Masa dewasa muda merupakan masa membina kedekatan dan hubungan yang lebih dalam dengan lawan jenis. Ini bisa berarti masa membina kehidupan berkeluarga. Pada masa ini secara kepribadian seorang wanita sudah siap. Secara kognitif, perkembangan intelegensia dan pola pikirnya sudah matang. Ia mampu mengatasi konflik-konflik emosional,” jelas Agustine.

Dewasa madya merupakan masa ketika secara kepribadian lebih mantap. Kehidupan wanita masa ini umumnya lebih tenang, sudah berkeluarga, dan punya anak. Bagi yang berkarier, kariernya juga sudah ‘jelas’.

Di masa dewasa akhir, umumnya kehidupan wanita lebih tenang karena anak-anak mulai beranjak besar, sehingga lebih memiliki waktu untuk diri sendiri.

Lalu mengapa saat ini tak sedikit wanita usia muda, khususnya usia 20 tahunan malah menunda berkeluarga dan punya anak?

Agustine menjelaskan, “Kalau dilihat dari tahapan perkembangan kematangan tadi, sebenarnya wanita-wanita usia 20 tahun ke atas itu siap punya anak. Mereka sudah sampai pada tahap kematangan kognitif, emosional, maupun aspek-aspek kepribadian lainnya. Tapi memang, secara situasional, saat ini hanya sedikit wanita usia 20 tahunan yang langsung memutuskan menikah dan punya anak.”

Biasanya, masih menurut Agustine, karena wanita-wanita usia 20 tahunan tersebut belum meletakkan prioritas utama hidupnya pada pernikahan. Mungkin mereka masih ingin menyelesaikan kuliah, atau ingin berkarier dahulu. Bisa jadi, keputusan ini juga karena pengaruh lingkungan.

“Kehidupan ‘kan berkembang sehingga dalam benak wanita-wanita 20 tahunan itu terbersit pikiran, ‘Kenapa pada masa ini saya harus mengurus bayi sementara teman-teman saya belum.’ Akibatnya, mereka malah berkarier, meneruskan pendidikan ke jenjang berikut, dan lain-lain. Intinya, mereka lebih memilih mendapatkan kebebasan dan mengembangkan diri seoptimal mungkin dahulu. Padahal, kalau wanita usia 20 tahunan itu memutuskan untuk kuliah namun bersedia menjalankan kehamilan dan punya anak, ya tidak masalah,” papar Agustine

Salah satu wanita itu adalah Runi (26 tahun). Ketika memutuskan menikah, ia masih dalam tahap akhir kuliahnya di Fakultas Kedokteran. Bahkan saat hamil, Runi bertugas sebagai co ass di rumah sakit yang jauh dari tempat tinggalnya.

Memang dalam perkembangan selanjutnya, wanita-wanita yang menikah dan punya anak di usia 20 tahunan, di masa dewasa madya merasa tenang karena anak sudah besar dan punya waktu untuk diri sendiri. Kepuasan perkawinan bagi mereka meningkat tatkala masuk usia dewasa madya (40-an).

“Bagi wanita yang menunda pernikahan dan keinginan punya anaknya, kelak di masa usia dewasa madya malah sibuk mengurus bayi. Akibatnya, kepuasan di masa ini pun menurun. Apalagi, meski secara mendasar di usia dewasa madya wanita lebih matang, tetapi secara fisik ia berisiko tinggi menjalani kehamilan dan persalinan. Ini bisa mendatangkan kecemasan,” jelas Agustine.

Usia lanjut, rawan risiko

Mau tidak mau, suka atau tidak suka, proses kehamilan dan persalinan berkaitan dengan kondisi dan fungsi organ-organ wanita. Artinya, sejalan dengan bertambahnya usia, tidak sedikit fungsi organ yang menurun.

“Semakin bertambah usia, semakin sulit hamil karena sel telur yang siap dibuahi semakin sedikit. Selain itu, kualitas sel telur juga semakin menurun. Itu sebabnya, pada kehamilan pertama di usia lanjut, risiko perkembangan janin tidak normal dan timbulnya penyakit kelainan bawaan juga tinggi, terutama sindroma Down,” jelas dr. Seno.

Lebih lanjut dr. Seno menjelaskan, meningkatnya usia juga membuat kondisi dan fungsi rahim menurun. Salah satu akibatnya adalah jaringan rahim tak lagi subur. Padahal, dinding rahim tempat menempelnya plasenta. Kondisi ini memunculkan kecenderungan terjadinya plasenta previa atau plasenta tidak menempel di tempat semestinya.

Selain itu, jaringan rongga panggul dan otot-ototnya pun melemah sejalan pertambahan usia. Hal ini membuat rongga panggul tidak mudah lagi menghadapi dan mengatasi komplikasi yang berat, seperti perdarahan. Pada keadaan tertentu, kondisi hormonalnya tidak seoptimal usia sebelumnya. Itu sebabnya, risiko keguguran, kematian janin, dan komplikasi lainnya juga meningkat.

Silakan hamil, asal…

Bagaimana bila seorang wanita baru menikah setelah usia 35 tahun, apakah mereka tidak diizinkan punya anak? Tentu saja tidak!. Hamil dan punya anak adalah hak asasi setiap wanita. Silakan jalani. “Tapi, selayaknya wanita yang bersangkutan memahami segala konsekuensi kehamilan di usia tua, bahwa ia memasuki kehamilan dengan risiko. Jadi, pada dasarnya, tidak penting apakah seorang wanita menunda kehamilannya sehingga baru memutuskan hamil di usia lanjut atau karena memang menikahnya di usia lanjut, yang penting wanita itu menyadari betul usia berapa ia pertama kali hamil, dan sadar risikonya,” jelas dr. Seno.

Menguatkan anjuran dr. Seno, Agustine menegaskan, “Semua terpulang pada individu yang bersangkutan. Standar ideal orang itu berbeda-beda. Hamil itu ‘ kan artinya siap jadi ibu. Banyak orang yang mau punya anak tapi masih sulit melihat bahwa mereka harus siap berkorban. Mereka harus siap memikirkan orang lain, terutama janinnya. Memang idealnya, menikah dan punya anak di masa usia prima, yaitu di bawah 30 tahun. Pada masa ini perkembangan kepribadian seorang wanita sudah siap. Maksudnya, sekolah sudah selesai dan sudah berkarier.”

Seandainya belum memungkinkan hamil dan melahirkan di usia prima, dr. Seno berpesan, “Periksakan diri secara teratur ke dokter. Dengan memperhatikan risiko, wanita bersangkutan harus lebih memperhatikan kondisi atau asupan gizinya. Krena, penurunan fungsi metabolisme tubuh dan nutrisi calon ibu sangat menentukan kondisi kehamilan dan persalinannya. Komplikasi yang mungkin muncul bisa ditekan bila kondisi keduanya baik.”

Satu hal yang patut diingat adalah tak perlu terlalu takut seandainya baru bisa hamil pertama di usia lewat dari 35 tahun. Tidak semua wanita hamil mengalami risiko itu. Ini dialami Satyorini (37 tahun). Kondisi kesehatan membuatnya terpaksa baru bisa menjalani kehamilan di usia ‘batas aman’. “Tetapi saya selalu berpikir positif dan tentu saja menjalani semua anjuran dokter,” katanya.

“Ya, konsultasi yang teratur memperkecil segala komplikasi,” tegas dr. Seno. Menyadari dan memahami risiko yang bisa terjadi, wanita bersangkutan tentu perlu memiliki kesadaran tinggi untuk menjaga dan memantau kondisi kesehatan tubuh dan janinnya, seperti memeriksakan diri dan janin secara teratur ke dokter kandungan.

Nia L. Tobing
Bahan: Laila Andaryani Hadis, NLT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar