Pengobatan pencegahan malaria berselang selama kehamilan pada perempuan HIV-positif

Oleh: Keith Alcorn, aidsmap.com

Pengobatan pencegahan berselang setiap bulan selama kehamilan (monthly intermittent preventive treatment during pregnancy/IPTp) dengan sulfadoksin-pirimetamin (SP) adalah sebanding dengan dua dosis SP IPTp sebagai pengobatan pencegahan baku untuk melindungi perempuan HIV-positif terhadap malaria di Zambia. Hal ini berdasarkan temuan penelitian yang diterbitkaan dalam Journal of Infectious Diseases edisi 1 Desember 2007.

Tetapi, IPTp dua dosis berisiko kekurangan dosis pada beberapa perempuan yang hanya menerima dosis tunggal sehingga berdampak buruk pada kehamilan. Hal ini berdasarkan tajuk rencana bersama yang ditulis oleh penulis laporan dalam jurnal yang sama.

Kurang lebih 12 juta perempuan hamil di Afrika sub-Sahara akan terserang malaria pada 2007. Dampak buruk kehamilan yang berpengaruh pada malaria plasenta termasuk anemia, bayi lahir meninggal, keguguran, aborsi, bayi lahir dengan berat badan rendah (low birth weight/LBW), dan kematian ibu. Bayi LBW rentan terhadap banyak penyakit anak.

Masalah kesehatan masyarakat ini bertambah dengan koinfeksi malaria dan HIV yang umum di banyak negara Afrika sub-Sahara. Perempuan hamil yang HIV-positif lebih rentan terserang malaria dibandingkan dengan perempuan hamil yang HIV-negatif. Di sisi lain serangan malaria meningkatkan viral load dan risiko penularan HIV dari ibu-ke-bayi.

IPTp adalah intervensi yang efektif untuk mengurangi infeksi plasenta, anemia pada ibu, dan LBW pada perempuan HIV-negatif. Tetapi, belum ada panduan yang jelas tentang frekuensi dosis SP yang terbaik untuk perempuan hamil yang HIV-positif yang belum memakai profilaksis kotrimoksazol.

Dua penelitian di Kenya dan Malawi sebelumnya menunjukkan bahwa IPTp sebulan sekali lebih efektif dibandingkan dua dosis IPTp pada perempuan hamil yang terinfeksi HIV dan yang HIV-negatif. Temuan ini harus dikonfirmasi dengan rangkaian lain di Afrika dengan malaria tingkat penularan yang berbeda.

Untuk menangani masalah ini, tim peneliti dari Zambia dan AS membandingkan IPTp bulanan dan dua dosis IPTp di wilayah dengan tingkat penularan malaria rendah. Penelitian ini dilakukan antara Januari 2003 dan Oktober 2004 di tiga klinik distrik di Ndola, Zambia. Tingkat kegagalan pengobatan malaria dengan SP meningkat lebih dari 2,5 kali lipat selama periode ini.

Peserta penelitian semuanya adalah perempuan hamil yang HIV-positif dengan usia kehamilan antara 16 dan 28 minggu. Setelah melakukan tes dan konseling secara sukarela (voluntary counseling and testing/VCT), perempuan HIV-positif diberi nevirapine (NVP) dan dilibatkan dalam penelitian. Penelitian ini adalah penelitian IPTp secara acak, double-blind, plasebo terkontrol dan dibandingkan dengan rejimen baku dua dosis SP dengan IPTp bulanan pada perempuan hamil yang HIV-positif di Zambia. Informasi demografi pada awal dikumpulkan dan contoh darah diambil untuk menentukan Hb serta mikroskopi malaria.

Para ibu diobati terhadap cacingan dan diberi suplemen zat besi dan folat setiap bulan. SP IPTp diberikan di bawah pengawasan langsung sampai kandungan berusia 36 minggu. Pada kunjungan tindak lanjut setiap bulan, para ibu mengisi angket dan melakukan peremiksaan kandungan serta tes laboratorium untuk anemia dan malaria.

Pada waktu melahirkan, tingkat Hb ibu dan bayi ditentukan, darah ari-ari, plasenta dan perifer ibu diambil untuk pemeriksaan malaria dengan mikroskopi, dan biopsi plasenta dilakukan untuk histologi. Berat bayi diukur dan usia kandungan diperkirakan. Satu dan enam minggu setelah kelahiran, ibu dan bayi kembali untuk pemeriksaan klinis.

Dari 456 perempuan HIV-positif yang terdaftar, 224 menerima IPTp bulanan dan 232 menerima dua dosis IPTp yang baku. Demografi pada awal dan ciri-ciri klinis, pemakaian kelambu berinsektisida, pengobatan antimalaria terakhir, dan parasitemia perifer adalah sebanding di antara kedua kelompok pengobatan.

Tidak ada perbedaan antara IPTp bulanan dan dua dosis IPTp yang baku terhadap malaria di plasenta berdasarkan histopatologi (26% banding 29%; risiko relatif [RR], 0,90) atau parasitemia plasenta (2% banding 4%; RR, 0,55). Juga tidak ada perbedaan pada anemia pada ibu, bayi lahir meninggal, kelahiran prematur, LBW, atau kematian bayi pada usia enam minggu karena sebab apapun.

Perempuan dalam kelompok IPTp bulanan rata-rata menerima empat dosis SP dan hanya satu persen menerima satu dosis. Sebaliknya, 16 % perempuan dalam kelompok dua dosis IPTp menerima satu dosis SP. Hasil pada ibu dan kelahiran dibandingkan antara perempuan yang menerima dosis tunggal dan yang menerima dua hingga empat dosis atau lebih. SP dosis tunggal secara bermakna berhubungan dengan risiko yang lebih tinggi terhadap anemia pada ibu, parasitemia perifer dan tali plasenta, bayi prematur serta LBW.

Sebagai kesimpulan, penelitian di Zambia menunjukkan bahwa di daerah penularan malaria rendah, SP IPTp bulanan adalah sebanding dengan rejimen dua dosis yang baku untuk pencegahan malaria plasenta atau dampak buruk kelahiran. Tetapi risiko kekurangan dosis meningkat secara bermakna pada rejimen dua dosis.

Temuan ini mendukung penelitian sebelumnya di Kenya dan Malawi tentang manfaat SP IPTp pada perempuan Afrika yang hamil yang HIV-positif. Mereka juga menunjukkan dampak dosis SP secara bermakna dan meremehkan keampuhan pengobatan SP dosis tunggal.

Dampak temuan ini terhadap kebijakan adalah bahwa SP IPTp bulanan tetap menjadi pilihan yang lebih baik untuk mengendalikan malaria pada perempuan hamil yang HIV-positif karena mereka lebih mungkin menerima lebih dari satu dosis SP. Tetapi, semangat tentang SP IPTp secara umum harus disikapi secara hati-hati.

Ada keprihatinan tentang kemungkinan toksisitas sulfonamida. Walaupun dalam penelitian di Zambia ini tingkat peristiwa dampak buruknya rendah, serupa pada kedua kelompok pengobatan, ada satu kasus penyakit kuning setelah lahir dan satu kasus sindrom Stevens-Johnson (SJS) yang mematikan. Karena risiko SJS meningkat secara tidak proporsional pada peserta yang terinfeksi HIV, SP IPTp pada peserta ini adalah berisiko walaupun sejauh ini kejadian toksisitas yang dilaporkan akibat SP IPTp adalah rendah.

Resistansi terhadap SP juga meningkat di banyak negara di Afrika dan pedoman IPTp berbasis SP akan segera tidak berlaku lagi di banyak negara. Tajuk rencana bersama menyarankan bahwa alternatif IPTp sebagai kombinasi obat antimalaria sebaiknya ditinjau kembali terkaitan dengan penggunaan kelambu berinsektisida karena kelambu berinsektisida adalah unsur pelengkap terhadap pengendalian malaria pada perempuan hamil. Uji coba ini sedang dilakukan di Afrika.

1 komentar:

  1. Suatu artikel yang bagus. Setelah berdasarkan artikel diatas, rata-rata pengobatan dilakukan secara kimiawi. Adakah obat yang bisa digunakan untuk mencegah bahkan mengobati itu secara herbal atau dari sari binatang (yang biasa digunakan dalam obat Cina)..?

    Salam,
    www.vanmbeeleer.com

    BalasHapus