Menunda Hamil bisa Infertil?



Bisa ya, bisa juga tidak. Semua ini tergantung metode kontrasepsi dan lama penundaan yang Anda lakukan.

“Kami sengaja menunda punya anak, kira-kira setahun setelah menikah, karena ingin menikmati masa penyesuaian sebagai suami istri. Tapi, setelah masa penundaan itu, eh... saya kok malah susah hamil. Padahal, sudah 4 tahun ini saya menjalani pengobatan infertilitas,” Sita mengeluh karena tak kunjung mendapat momongan.

Infertilitas atau sulit punya anak cukup banyak dialami pasangan muda. Benarkah ini gara-gara mereka menunda kehamilan? Yuk, cari tahu sejauh mana tindakan menunda hamil mempengaruhi kesuburan, dan cara terbaik mengatasinya.

Banyak alasan dan pilihan

Banyak alasan mengapa sepasang suami istri menunda untuk punya anak. Ada yang terpaksa, misalnya karena kebijakan perusahaan tempatnya bekerja. Ada juga yang memang “belum siap”, misalnya karena ingin saling beradaptasi dulu dengan pasangan, atau mendahulukan karier. Tergantung alasannya, lama penundaan yang mereka lakukan pun bervariasi. Namun, rata-rata berkisar antara 1-2 tahun.

Akibat menunda kehamilan itu, mereka pun dihadapkan pada beberapa pilihan cara menunda kehamilan. Ada yang tanpa alat kontrasepsi, seperti pasangan Brett dan Vika . Masing-masing melanjutkan sekolah di dua tempat yang terpisah jauh, sehingga jarang ketemu. Sementara pasangan Agung dan Herni memilih kondom agar tidak hamil.

Menurut dr. J.M. Seno Adjie, Sp.OG(K) , tindakan menunda kehamilan biasanya tidak begitu mempengaruhi status fertilitas atau kesuburan sang wanita. Terbukti, misalnya, hasil pemeriksaan dokter menunjukkan masalahnya ada pada Brett.

“Berbeda dengan cara penundaan kehamilan yang menggunakan alat kontrasepsi hormonal, seperti pil. Asal tahu saja, menunda kehamilan dengan alat kontrasepsi hormonal yang dilakukan dalam jangka waktu lama, sangat memungkinkan terjadinya perubahan status fertilitas seorang wanita,“ kata staf Sub Divisi Obstetri dan Ginekologi Sosial, Departemen Obstetri dan Ginekologi, FKUI/RSCM, Jakarta ini.

Tentukan prioritas

Celakanya, dengan pertimbangan tertentu, metode kontrasepsi hormonal ini yang biasanya justru dianjurkan dokter terhadap mereka yang ingin menunda kehamilan. Nah, untuk mengurangi risiko berkurangnya kesuburan karena penundaan yang lama, dra. M. Louise Maspaitella, M.Psi. , menyarankan pasangan yang bersangkutan untuk tetap berusaha menentukan prioritas. “Cari yang terpenting di antara yang penting. Jangan sampai tiba-tiba menyadari, kok belum punya anak, ya? Sementara pernikahannya, misalnya, sudah berjalan 3 tahun,” kata psikolog dan penanggung jawab Parent Education Program RSAB Harapan Kita, Jakarta.

Hal ini didukung oleh dr. Seno, “ Makin lama seorang wanita pakai pil, maka makin sulit kemungkinannya punya anak. Jadi, kapan seorang wanita “siap” hamil dan punya anak, antara lain juga tergantung dari lamanya ia memakai alat-alat kontrasepsi.”

Namun, dr. Seno mengingatkan, “Kalau seorang wanita tidak punya anak karena memakai alat kontrasepsi, kemudian masih tidak punya anak setelah alat kontrasepsinya dilepas, maka penyebabnya bisa multi faktor. Salah satunya memang obat-obatan atau hormon-hormon dalam pil yang dapat mengurangi kesuburan. Faktor lain adalah karena status dasar awalnya, baik dari si wanita atau pria, yang sebelum memakai alat kontrasepsi sudah sulit punya anak.”

Cepat cari bantuan

Lalu, apa langkah terbaik bagi para akseptor KB yang sekarang ini pengin punya anak? “Nomor satu yang harus dilakukan adalah stop alat kontrasepsinya. Setelah berusaha, mereka harus melihat apakah si istri bisa hamil atau tidak. Kalau lebih dari setahun, tentu saja dengan hubungan seksual yang aktif toh tanpa hasil, maka diperlukan pemeriksaan lanjut untuk mencari faktor-faktor penyebab ketidaksuburan si wanita,” jawab dr. Seno.

Intinya, jika terdeteksi sulit punya anak, segeralah cari bantuan. Langkah ini juga disetujui Dra. Louise, “Pasangan tersebut sebaiknya segera datang ke sentra/klinik khusus yang mengatasi masalah sulit punya anak. Lakukanlah konsultasi dan pemeriksaan lengkap, agar jelas pokok permasalahannya.”

Baik pasangan Brett dan Vika maupun Herni dan Agung , sudah melakukan langkah ini. Biang keladinya pun sudah mereka ketahui. Penyumbatan saluran telur seperti yang dialami Herni, menurut dr. Seno, banyak terjadi karena infeksi, ada gangguan anatomi dari awal, atau karena adanya tumor (miom) atau kista.

Temukan jalan keluar terbaik

Saran Dra. Louise ini perlu disimak. “Bila secara fisik atau organ oke, maka kita harus lihat juga faktor psikologisnya. Kalau si wanita stres karena masalah pada dirinya sendiri atau lingkungan sosial, maka siklus menstruasinya bisa tidak teratur. Bahkan, berhenti. Jadi, lebih baik lagi kalau pasangan suami istri itu datang juga ke psikolog klinis yang memahami masalah kebidanan. Jangan takut, rahasia Anda tidak akan terbongkar.”

Lama terapi yang dilakukan suami istri yang ingin punya anak bisa bervariasi. Ada yang cepat berhasil, dan ada pula yang masih tanda tanya. Bagi yang termasuk golongan kedua, seperti pasangan Brett dan Vika, Louise mengingatkan, “Pasrah bukan berarti menyerah. Kapan kita diberi anak, kita tidak tahu. Kita serahkan semua pada Tuhan Yang Maha Besar. Namun, selama masa penantian itu, hendaknya kita tetap berusaha dengan mensyukuri nikmat-Nya. Tetap menjalin komunikasi yang baik antara suami istri, dan belajar berpikir positif.”

Sesuai saran Louise, tak ada salahnya bila Anda bicarakan dengan pasangan, apakah siap hidup tanpa anak, jadi orang tua asuh, atau adopsi? Jika Anda telah mempertimbangkan matang-matang, maka Anda berdua akan mampu menghadapi reaksi dari lingkungan keluarga besar. Itu artinya, Anda dan pasangan akan terhindar dari stres dan dapat menjalani kehidupan sosial dengan lebih baik.

Dewi Handajani ( ayahbunda-online.com )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar